WARGA SEKITAR MERAPI ENGGAN MENGUNGSI
Kepulan asap tebal yang keluar dari puncak Gunung Merapi hingga Sabtu pagi masih terlihat membubung tinggi. Namun hal tersebut tidak menimbulkan kepanikan warga di Magelang Jawa Tengah. Warga tetap menjalankan aktivitasnya secara normal .
Sejak pagi, Gunung Merapi terus mengeluarkan asap tebal yang terlihat membubung tinggi. Meski masih dalam status awas, namun sejumlah warga di Desa Ngepos, Kecamatan Srumbung, masih tetap menjalankan aktivitas seperti biasa.
Padahal daerah ini merupakan lokasi rawan bencana, karena jaraknya hanya 10 kilometer dari Puncak Merapi. Menanggapi aktivitas Merapi, warga setempat mengaku tidak khawatir, karena letusan masih dalam level rendah.
Warga di sekitar lereng Merapi memutuskan kembali ke rumah karena tidak nyaman berada di pengungsian. Meski masuk dalam kawasan rawan bencana, akses menuju Kecamatan Srumbung tidak dijaga aparat keamanan.
Sejak pagi, Gunung Merapi terus mengeluarkan asap tebal yang terlihat membubung tinggi. Meski masih dalam status awas, namun sejumlah warga di Desa Ngepos, Kecamatan Srumbung, masih tetap menjalankan aktivitas seperti biasa.
Padahal daerah ini merupakan lokasi rawan bencana, karena jaraknya hanya 10 kilometer dari Puncak Merapi. Menanggapi aktivitas Merapi, warga setempat mengaku tidak khawatir, karena letusan masih dalam level rendah.
Warga di sekitar lereng Merapi memutuskan kembali ke rumah karena tidak nyaman berada di pengungsian. Meski masuk dalam kawasan rawan bencana, akses menuju Kecamatan Srumbung tidak dijaga aparat keamanan.
Alasan sebagian warga lereng Merapi tidak bersedia dievakuasi meski status gunung tersebut sudah meningkat menjadi “Awas” karena mereka meyakini belum mendapat perintah mengungsi dari Kiai Petruk, sebagai penguasa gunung Merapi. Mitos tersebut hingga kini begitu diyakini penduduk lereng Merapi, sehingga mereka memilih bertahan di desanya sebelum mendapat perintah dari Kiai Petruk .Keyakinan penduduk lereng merapi inilah yang menyulut ketegangan dengan petugas evakuasi . Tetapi petugas evakusi berjanji akan memaksa warga untuk segera mengungsi bila kondisi Merapi semakin gawat .Selain menggunakan pendekatan kepada warga, Pemkab Boyolali juga akan mengevakuasi paksa jika warga tetap bersikeras . Saat ini, selain menyiapkan tenda di Lapangan Selo, tim evakuasi juga telah memasang papan petunjuk arah di jalur evakluasi.
Hal tersebut merupakan antisipasi jika Merapi meletus, warga pun bisa cepat tiba di pengungsian. Sekitar tujuh ribu warga di tiga desa di kaki Gunung Merapi, menolak dievakuasi ke pengungsian.Tiga desa tersebut adalah Desa Jrakah, Desa Telogo Lele, dan Desa Klakah. Sampai saat ini, baru ada sekitar 2.000 warga dari Desa Kemiren dan Kaliurang, kecamatan Srumbung, Magelang, yang telah bersedia meninggalkan rumah mereka yang berjarak sekitar 7 kilometer dari puncak Merapi .Meningkatnya kembali aktivitas Gunung Merapi hingga pagi hari tadi, memaksa seluruh warga harus kembali dievakuasi oleh para petugas.Namun ternyata ada pula warga yang tidak mau mengungsi meski aktivitas Merapi terus meningkat.Menurut warga yang tinggal di dekat lereng Gunung Merbabu yang berjarak sekira lima hingga enam kilometer ini memang memiliki keyakinan dan kepercayaan tersendiri. Mereka meyakini bahwa jika berada di Merbabu, maka mereka pasti aman dari letusan Gunung Merapi.
Selain itu saat ini para pengungsi di posko pengungsian pendopo Kabupaten Boyolali terus bertambah dan diperkirakan berjumlah puluhan ribu orang yang mengungsi dari warga diwilayah sekitar Gunung Merapi.
Bencana meletusnya Gunung Merapi selain menyisakan kesedihan bagi warga yang kehilangan sanak saudara dan harta benda, juga memberikan hikmah bagi kita semua. Setidaknya ada dua hal yang bisa kita pelajari di balik gunung api aktif yang terletak di perbatasan Jateng dan DIY tersebut. Pertama, meninggalnya Mbah Maridjan, yang dipercaya Kraton Kasultanan Yogyakarta untuk menjadi juru kunci Merapi sejak 1983. Kedua, perlunya menciptakan kultur sadar dan tanggap bencana di masyarakat, mengingat Indonesia adalah wilayah yang sangat rawan dengan bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami.
Tentang Mbah Maridjan, lelaki sepuh ini memang cukup kontroversial. Betapa tidak, di saat semua warga lereng Merapi mengungsi, dia tetap bersikeras tinggal di rumahnya “menjaga” Gunung Merapi. Bagi banyak orang, sikap dan tindakannya itu dianggap ceroboh. Apalagi, seorang dokter dan seorang jurnalis harus kehilangan nyawanya karena terjebak awan panas Merapi, tatkala nurani mereka terpanggil untuk menjemput paksa si mbah.
Namun, banyak pula yang melihat pilihan sikap Mbah Maridjan itu cermin sebuah kesetiaan, loyalitas, kesederhanaan, dan tanggung jawab atas panggilan tugasnya. Sebuah teladan kepatuhan dan ketaatan walau nyawa taruhannya. Bagi masyarakat tradisional Jawa, kraton menjadi episentrum kehidupan spiritual, di samping relasi vertikal langsung dengan Sang Khalik. Sebab, penguasa kraton, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono di Kraton Kasultanan Yogyakarta dan Sri Susuhunan Paku Buwono di Kraton Kasunanan Surakarta, juga dianggap sebagai representasi Sang Pencipta dalam konteks Islam Kejawen.
Itulah mengapa, bagi masyarakat tradisional, terutama abdi dalem Kraton, titah dan mandat dari Sultan adalah sebuah amanah yang mutlak harus dijalani, tidak saja wujud kesetiaan dan pengabdian kepada sang raja, tetapi lebih dari itu diyakini sebagai panggilan hidup dari Sang Pencipta. Di alam modern, perjalanan hidup Mbah Maridjan hingga akhir hayatnya dianggap sebagai fragmen kehidupan yang tidak rasional.
Pandangan itu dari satu sisi ada benarnya. Mbah Maridjan tidak harus meninggal jika menuruti perintah petugas untuk turun mengungsi seperti warga lereng Merapi lainnya. Toh di saat situasi normal dia bisa kembali ke Merapi untuk melanjutkan tugasnya sebagai juru kunci. Tetapi, Mbah Maridjan memiliki pandangan dan keyakinan hidup yang berbeda dengan kebanyakan orang. Kata kuncinya adalah kesetiaan dan tanggung jawab.
Mbah Maridjan telah membuka mata kita tentang arti dan bagaimana seseorang harus menjalankan kesetiaan dan tanggung jawab hingga akhir hayat, tanpa pamrih jabatan dan materi. Sikap dan nilai hidup Mbah Maridjan kiranya sulit ditemui di masyarakat modern saat ini, yang lebih mengedepankan logika dan kepintaran. Sebab, kesetiaan dan tanggung jawab hanya bisa diwujudkan jika nurani menjadi panglima.
Di balik anggapan klenik dan mistis dalam perjalanan hidupnya di lereng Merapi, Mbah Maridjan telah menyampaikan pesan bahwa kesederhanaan mampu memelihara kesetiaan dan tanggung jawab. Bahwa modernitas bukanlah orientasi akhir dari proses kehidupan manusia universal. Betapa orang yang tidak mengenyam pendidikan formal, yang dianggap terbelakang, dan yang tidak memegang jabatan politis, sesungguhnya memiliki kearifan lokal.
Nilai-nilai itulah yang kita harapkan bisa diteladani oleh manusia modern, terutama pemerintah dan elite politik, untuk bisa setia dan bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan rakyat. Tentunya kesetiaan dan tanggung jawab yang dibungkus nurani, bukan dilatari pamrih kekuasaan dan materi. Hal lain yang bisa dipetik dari meletusnya Gunung Merapi adalah bagaimana menciptakan kultur masyarakat yang sadar dan tanggap terhadap bencana.
Sebab, bencana alam adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Merelokasi warga dari lereng Merapi atau dari pesisir untuk menghindari tsunami, misalnya, bukan solusi yang arif. Sebab, warga bukanlah robot yang bisa dengan mudah dipindah ke sana ke mari. Warga Merapi dan pesisir adalah manusia yang pada hakikatnya memiliki nilai-nilai terkait dengan tempat tinggalnya saat ini, yang telah mengakar kuat dan menjadi penopang kehidupannya selama ini.
Oleh karenanya, menjadi tugas pemerintah dan kita semua untuk menjaga kearifan lokal masyarakat di sekitar wilayah bencana, dan membantunya untuk bisa bertahan dan selamat jika bencana datang. Caranya, menyusun peta rawan bencana dan membangun area aman sebagai titik pengungsian yang bisa dijangkau secara cepat, mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan seperti relawan, perlengkapan dan logistik, menetapkan standar evakuasi dan penanganan pengungsi, serta sosialisasi mengenai risiko tinggal di wilayah bencana dan apa yang harus dilakukan warga.
Hal ini pula yang dilakukan Jepang, yang lebih dulu menyandang predikat negara bencana. Akibatnya, jumlah korban bisa ditekan seminimal mungkin, lantaran kultur sadar dan tanggap bencana telah tertanam, tanpa harus menggusur tatanan kehidupan dan nilai-nilai yang tertanam di warga lokasi bencana.
Sebelum merapi meletus, warga Desa Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sebenarnya sudah mendengar informasi jika Merapi bakal meletus. Tapi mereka tetap bertahan lantaran isu yang berkembang Merapi bakal meletus Selasa (26/10/2010) pukul 19.00. Padahal bencana itu terjadi pukul 17.00.
Minto, menuturkan, letusan Merapi tersebut terjadi tiba-tiba sehingga banyak warga Kinahrejo menjadi korban. Sebab sebelumnya beredar issue Merapi meletus akan terjadi jam 19.00 WIB. “Makanya masyarakat Kinahrejo belum sempat turun untuk mengungsi. Tetapi ternyata sekitar pukul 17.00 WIB sudah meletus,” ujarnya.
Kondisi Desa Kinahrejo, pasca terjadinya letusan Gunung Merapi seakan menjadi desa mati setelah ditinggalkan penghuninya mengungsi.
Pantauan Humas Provinsi DIY sampai jam :12.30 WIB Rabu,(27/10) di Desa Kinahrejo dimana Mbah Maridjan tinggal yang tampak hanya puing-puing bangunan rumah berantakan, dedaunan penuh debu dan kering, pepohonan berserakan melintang di tengah jalan.
Hewan piaraan warga juga banyak yang mati. Bangkai sapi dan unggas, misalnya, banyak ditemukan sepanjang jalan. Beberapa ekor sapi milik warga terlihat masih hidup, tetapi kondisinya memprihatinkan. Kulit binatang mamamia itu mengelupas dan hidungnya mengeluarkan darah. Binatang itu tertidur lemas setelah dihantam badai pasir panas ratusan derajad dengan kecepatan 600/km.Dari gardu pandang di bawah lereng Merapi pepohonan kelihat meranggas tinggal batang. Jalan menuju objek wisata gardu pandang dipenuhi pasir hingga mencapai 1 cm lebih sehingga kendaraan bermotor yang melalui jalan itu harus hati-hati sebab bisa tergelincir.
Sepanjang jalan menuju Kinahrejo, Kepuharjo dan sekitarnya yang ada hanya kendaraan petugas dan relawan yang melakukan penyisiran mencari korban. Siapa tahu ada korban masih tercecer baik di kebun maupun di dalam rumah.
Sementara itu dari 26 Korban meninggal yang dilarikan ke Rumit Sarjito sudah teridentifikasi. Berdasarkan sumber dari Humas RS Sarjito, nama-nama korban masing-masing, 1. Sarjiman. Dari Kepuhharjo.2. Ny. Puji Surono warga Pelemsari.3. Sarno Utomo warga Kepuharjo.4. Tarno warga Kinahrejo. 5. Yanto Utomo warga ngrakah.6.Wahono Suketi warga Pelemsari.7.Iwan Nur Cholik warga kinahrejo.8. Sipon warga Kinahrejo.9 Yuniawan warga kinahrejo. 10.Tutur Anggota PMI dari Bantul Relawan. 11. Mr. X. 12. Mr.X.13 Mr.X. 14. Sarmidi warga Kinahrejo.15. Mr.X.16. Imam warga kinahrejo. 17.ny.Emi warga Kinahrejo. 18.Bayi Ny.Emi 6 bulan warga Kinahrejo.19. Andi warga Kinahrejo. 20. Mr. X.21.Mr.X 22.mr. X.23.Ny. Sarworejo. Warga Kinahrejo. 24. Wiyono waqrga Kinahrejo.25. Slamet Ngatiran warga Kinahrejo dan 26.Mbah Marijan.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, ikut berbela sungkawa atas jatuhnya korban akibat letusan Merapi.“Ya jelas saya menyesal dengan adanya korban meninggal. Mestinya hal itu bisa dihindari kalau masyarakat itu taat pada perhitungan akademik. Mereka yang tidak mengungsi itu ya karena mungkin mempunyai keyakinan sendiri atau kesombongan, ya saya nggak tahu. Mbah Marijan mestinya juga bisa menjadi contoh yang baik,” ujar Sultan, seperti dikutip situs resmi jogjaprov.
Warga di lereng Gunung Merapi enggan memenuhi imbauan pemerintah untuk mengungsi. Hingga siang ini mereka masih melakukan aktifitas harian meski tadi pagi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta telah menaikan status Merapi dari Siaga menjadi Awas.
Sesuai dengan penetapan status itu, BPPTK merekomendasikan agar warga yang tinggal di radius 10 kilometer dari puncak Merapi untuk mengungsi. Namun rekomendasi itu sama sekali tidak mendapat tanggapan dari warga. Alasannya, mereka enggan mengungsi karena belum menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Misalanya saja mencari pasir, pergi ke ladang, hingga mengerjakan pekerjaan rumah. "Kalau belum lihat sendiri wedhus gembelnya, biasanya belum mau lari," kata Alif, 35 tahun, warga Kaliurang.
Kepala Desa Kaliurang Kiptiyah mengatakan, alasan itu membuat proses evakuasi di desanya terhambat. Selain itu, warga yang saling tunggu untuk berkumpul dengan anggota keluarga yang lain. "Bapaknya masih kerja, anaknya masih sekolah," kata dia memberi contoh. Namun dia berharap, petang ini semua warga desa sudah masuk ke tempat pengungsian.
Menurut Kiptiyah, saat ini pengungsi lebih banyak didominasi wanita, manula, dan anak-anak. Adapun pemuda dan kaum laki terbilang berat meninggalkan aktifitasnya. "Kalaupun mau mengungsi, itu hanya malam saja. Siang pasti balik ke desa," kata dia.
Enam ribu lebih warga di Kelurahan Wonolelo, Kabupaten Magelang, hingga kini masih enggan untuk diungsikan. Mereka tetap bertahan karena mempunyai keyakinan bahwa di desanya masih aman dari bahaya letusan merapi, walaupun 300 warga lainnya di kelurahan tersebut sudah mengungsi.
Warga berpendapat, jarak antara gunung merapi dengan desanya, masih terhalang aliran sungai Belan yang membentang luas. Hal itu saat ini yang menjadi alasan kuat para warga untuk tetap bertahan dan enggan untuk dievakuasi, walaupun di desanya kini dalam zona terlarang yaitu radius 9 kilo meter dari puncak merapi.
Wakil Bupati Magelang, Zaenal Arifin, menegaskan, jika warga Wonolelo yang berada di zona terlarang, tidak mau diungsikan, dimimnta untuk menandatangani surat penolakan diungsikan. Warga Wonolelo menyatakan, jika terjadi bahaya, mereka cukup mengungsi di daerah perbukitan.
Warga lereng Merapi di daerah Klaten hingga Senin (25/10.2010) siang masih belum mendapat perintah segera mengungsi. Mereka juga terlihat enggan meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi. Alasannya, mereka trauma dengan peristiwa pengungsian tahun 2006 yang sangat merugikan warga.
Musiyem warga Deles, Kemalang, Klaten, Senin siang masih melakukan aktivitas seperti biasa. Dia tetap mencarikan rumput untuk ketiga ekor sapi piaraannya. Sapi itu telah dipiara dan dibesarkannya selama empat tahun terakhir, tepatnya pasca erupsi Merapi tahun 2006.Saat itu seluruh warga di kampungnya dipaksa mengungsi dari rumah karena ancaman bahaya Merapi. Mereka mengungsi di tenda pengungsian yang disediakan pemerintah di lapangan Desa Dompol, Kemalang, Klaten.
Namun hingga pengungsian berakhir desa Deles memang tidak terkena muntahan lahar, paling parah hanya terkena hujan abu. Kawasan tersebut terlindungi oleh salah satu bukit anak Merapi yang oleh warga biasa disebut Gunung Biyung Bibi. Anak gunung ibarat tameng dari bencana Merapi bagi warga Kemalang secara turun-temurun.
Padahal karena harus mengungsi dan hanya orang yang disediakan tempat pengungsian, akhirnya seluruh ternaknya dijual secara murah. Tanaman di lahan garapan juga terbengkelai karena tak dirawat.
“Belum lagi perlakukan saat di pengungsian. Makannya susah, pulangnya juga tidak diberi modal apapun. Saat itu kami pulang sudah layaknya gelandangan saja. Tidak punya apa-apa. Sampai di rumah juga harus mulai dari awal lagi. Setelah empat tahun, kini kami sudah punya tiga ekor sapi lagi,” papar Musiyem.
Karenanya dia terus menghindar saat ditanya apakah dia akan ikut mengungsi jika nantinya Pemkab Klaten memerintahkan pengosongan kawasan hunian yang dianggap berbahaya terkena letusan Merapi. Dari pandangan dan ekspresinya kelihatan sekali dia tidak senang meninggalkan rumahnya untuk mengungsi. Jawaban lebih jelas disampaikan Martono, warga dusun Pajegan, Desa Tegalmulyo, Kemalang. Pajegan adalah salah satu kawasan hunian tertinggi di lereng Merapi daerah Klaten. Lokasi hunian itu hanya berjarak 2 kilometer dari puncak Merapi. Tahun 2006 lokasi tersebut terselamatkan oleh bukit Biyung Bibi dari semburan awan panas Merapi.
“Daerah kami selama ini selalu aman dari bahaya Merapi. Kami yakin tahun inipun pemukiman kami aman. Namun jika diminta mengungsi, kami akan mematuhi perintah itu. Hanya saja harapan kami, bukan hanya manusia saja yang diungsikan, tolong hewan piaraan juga diberi tempat untuk di pengungsian.” papar Martono yang saat ini memiliki lima ekor sapi dan beberapa ekor kambing.
Martono mengatakan, hewan ternak adalah harta kekayaan warga di pedesaan. Warga tidak mungkin nyaman di pengungsian selama hewan ternaknya tetap berada di pemukiman. Padahal lokasi rumah dengan lokasi pengungsian sangat jauh. Jika pemerintah tidak diperhatikan masalah tersebut maka pemerintah justru dinilai menelantarkan nasib warga.
Sebagian Warga Gemer Lereng Merapi Tetap Tolak Mengungsi
Yogyakarta - Sebanyak 21 jiwa dari 213 jiwa, warga yang tinggal di Dusun Gemer Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun bersedia diungsikan ke Tempat Penampungan Sementara (TPS). Selebihnya sebanyak 192 orang menyatakan belum bersedia diungsikan. Padahal tempat tinggal mereka termasuk kawasan paling rawan bencana sekitar 5 kilometer dari puncak Merapi.
Berbagai alasan mereka mengungkapkan kepada aparat pemerintah desa yang meminta warga untuk mengungsi. Mereka beralasan Merapi belum apa-apa, masih mempunyai tangguang memberikan makan dan memlihara ternak serta punya ladang yang harus digarap. Hanya 21 orang warga Gemer, hari ini Kamis (27/4/2006) akhirnya bersedia diungsikan ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) Tanjung Muntilan. Mereka yang mayoritas jompo, dan orang sakit diangkut menggunakan 1 truk dan 3 mobil ambulans. Namun ada tiga warga masing-masing Ny Sumarni, Ny Wakiyem dan Ny Rame yang langsung di masukkan ke RSUD Muntilan untuk dirawat. Ketiganya kedapatan menderita sakit asma, kandungan dan gangguan lambung akut. Sementara dua warga lainnya yakni Slamet dan Ponimin dirujuk ke RS Jiwa di Kramat Kota Magelang karena gangguan mental. Sebelumnya dilakukan pengungsian, aparat pemerintah desa bersama aparat pemerintah kecamatan berbegosiasi cukup alot. Ini merupakan keberhasilan yang pertama kali, karena sebelumnya sejak hari Jumat 21 April lalu selalu gagal. Sebelumnya telah tiga kali digelar pertemuan dengan tujuan merayu warga agar bersedia diungsikan.
Pada pertemuan terakhir dilakukan pada Selasa, (25/4/2006) lalu di Balai Desa Ngargomulyo, hasilnya perwakilan warga masih pikir-pikir dan meminta bermusyawarah dulu dengan warga lainnya. Baru saat ini mereka bersedia tapi hanya orang jompo, ibu hamil dan yang menderita sakit parah saja. Sedang warga lainnya msih tetap bertahan di rumah masing-masing. "Warga Gemer mau ngungsi tapi hanya yang Jompo dan sakit yang berjumlah 21 orang, pemuda dan warga yang kuat masih tinggal untuk memelihara ternak dan berjaga dusun," kata Kades Ngargomulyo, Tumat Maryoto. Dalam rombongan warga Gemer itu terdapat dua warga Dusun Tanen dan satu warga Dusun Batur Ngisor yang turut dievakuasi. Hingga saat ini, telah ada 89 warga Ngargomulyo terutama dari dusun-dusun terdekat dengan puncak Merapi telah diungsikan. Menurut Maryoto, sebanyak 11 dusun terutama Batur, Ngandong, Karanganyar dan Gemer berada di daerah paling rawan bencana Merapi sehingga harus dievakusi seawal mungkin sebelum terjadi letusan. Jumlah seluruh warga desa itu 2.368 jiwa atu 714 kepala keluarga. "Gampang-gampang susah mengevakuasi warga sini, susahnya kali pertama dievakuasi mereka belum jelas sehingga perlu penjelasan lagi. Sekarang mereka mau dievakuasi, tetapi tidak semua mau, hanya warga Karanganyar dan Ngandong," kata Tumat Maryoto.
Merasa Aman, Warga Masih Enggan Mengungsi
Cukup mencengangkan, ketika instruksi mengungsi dari pemerintah tidak digubris oleh warga Kawasan Rawan Bencana (KRB) III di Klaten. Di lain pihak Pemkab sendiri setempat dinilai belum siap mengevakuasi warga, terbukti dengan minimnya logistik hingga sosialisasi ke wilayah itu.
”Pemerintah desa sudah diminta untuk mengimbau warganya mengungsi hari ini (kemarin -red) dan kami pun telah meneruskannya ke warga. Namun kenyataannya masih di rumah masing-masing,” terang Kades Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Suroso, Senin (25/10).
Dalam imbauannya ke warga, pihaknya telah menginformasikan status Awas Gunung Merapi, namun hal itu belum cukup kuat untuk menggerakkan warganya mengungsi. Warga, kata dia, mempunyai pertimbangan lain untuk memutuskan tetap tinggal.Namun untuk mengawalinya, warga sendiri berinisiatif menyiapkan 15 truk pasir pengangkut pengungsi. Titik pengumpulan pengungsi pun dipusatkan di balai desa setempat dan di salah satu gedung sekolah.
”Ada 2.400 warga di sini sebagai calon pengungsi. Truk pasir milik warga juga sudah siap untuk mengangkutnya dari balai desa dan SDN II sebagai titik kumpul,” terangnya, kemarin.
Pada bagian lain, keputusan warga untuk mengungsi bergantung dari imbauan langsung dari pejabat daerah. Sekretaris Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Basuki mengatakan, sedianya Bupati, Kapolres, Dandim, ataupun pejabat berpengaruh bersedia menemui warga, maka mereka pun dapat diyakinkan untuk mengungsi.
Hingga kemarin petang, warga lebih memilih mempersiapkan diri daripada mengandalkan janji dari pemerintah. Mereka telah mengemasi barang-barang dan bersiap turun gunung dengan tanda-tanda dari Merapi. ”Hasil pendataan ada 23 truk yang bersedia mengangkut kapan saja,” jelasnya.
Aktivitas warga pun menurutnya masih normal, meski pengamatan Merapi melalui ronda kian digiatkan. Perlu diketahui, Desa Balerante dan Sidorejo terletak sekitar 4 kilometer dari puncak Merapi. Keberadaan warga di desa tersebut mengancam jiwa mereka jika sewaktu-waktu Merapi meletus.
Keengganan warga untuk meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi, sesungguhnya dilatarbelakangi trauma atas peristiwa pengungsian tahun 2006 yang sangat merugikan warga.
Musiyem warga Deles, Kemalang, Klaten, Senin siang masih melakukan aktivitas seperti biasa. Dia tetap mencarikan rumput untuk ketiga ekor sapi piaraannya. Sapi itu telah dipiara dan dibesarkannya selama empat tahun terakhir, tepatnya pascaerupsi Merapi tahun 2006.
Saat itu seluruh warga di kampungnya dipaksa mengungsi dari rumah karena ancaman bahaya Merapi. Mereka mengungsi di tenda pengungsian yang disediakan pemerintah di lapangan Desa Dompol, Kemalang, Klaten.
Namun hingga pengungsian berakhir Desa Deles memang tidak terkena muntahan lahar, paling parah hanya terkena hujan abu. Kawasan tersebut terlindungi oleh salah satu bukit anak Merapi yang oleh warga biasa disebut Gunung Biyung Bibi. Anak gunung ibarat tameng dari bencana Merapi bagi warga Kemalang secara turun-temurun.
Padahal karena harus mengungsi dan hanya orang yang disediakan tempat pengungsian, akhirnya seluruh ternaknya dijual secara murah. Tanaman di lahan garapan juga terbengkelai karena tak dirawat.
Jawaban lebih jelas disampaikan Martono, warga dusun Pajegan, Desa Tegalmulyo, Kemalang. Pajegan adalah salah satu kawasan hunian tertinggi di lereng Merapi daerah Klaten. Lokasi hunian itu hanya berjarak 2 kilometer dari puncak Merapi. Tahun 2006 lokasi tersebut terselamatkan oleh bukit Biyung Bibi dari semburan awan panas Merapi.
Sementara itu, juru kunci Gunung Merapi Ki Surakso Hargo atau Mbah Maridjan meminta masyarakat di Kawasan Rawan Bencana III mematuhi instruksi dari pemerintah untuk segera mengungsi terkait dengan peningkatan status Gunung Merapi dari Siaga menjadi Awas
Warga Enggan Dipindah
Klaten, kompas - Warga korban erupsi Gunung Merapi di wilayah Kecamatan Kemalang, Klaten, masih enggan apabila harus dipindahkan ke lokasi yang lebih aman. Alasannya, kehidupan warga sudah turun-temurun telanjur menyatu dengan Gunung Merapi.
Keengganan itu disampaikan sejumlah warga dari desa rawan bencana yang ditemui di Pos Pengungsian SMA Negeri 3 Klaten, Jumat (12/11). Tercatat sekitar 11.000 warga tinggal di empat desa yang berada di kawasan rawan bencana berjarak hanya 5-7 kilometer dari Merapi. Empat desa itu adalah Balerante, Sidorejo, Tegalmulyo, dan Kendalsari.
”Kalau terpaksa harus relokasi, kami mau saja asal masih di Desa Balerante. Kalau relokasinya di luar desa, kami tentu menolak. Kami juga tidak ingin ikut program transmigrasi sekiranya ditawarkan Pemkab Klaten,” ujar Sumarmo, warga Dusun Sukorejo, Balerante.
Menurut Kepala Desa Sidorejo, Suroso, sekitar 2.000 dari 3.973 warganya tinggal dalam radius kurang dari 8 kilometer dari puncak Merapi. ”Sudah biasa kalau harus mengungsi saat bencana Merapi. Kami tidak punya usulan supaya pindah atau transmigrasi. Warga mau tetap tinggal seperti sedia kala,” ujar Suroso.
”Mau relokasi ke mana? Lahan di desa-desa lereng Merapi itu sudah habis untuk permukiman, jalan, dan ladang. Kami tetap mencintai desa yang kini rusak itu,” ujar Tri Harsono, warga asal Dusun Bangunsari, Glagahharjo, Kecamatan Cangkringan.
Sekretaris Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (PB) Klaten Sri Winoto mengakui tidak mudah merelokasi warga yang sudah tinggal menyatu di lereng Merapi.
Di Kabupaten Magelang pun, sekitar 6.000 warga Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, sepakat menolak mengungsi meski desanya hanya berjarak 12 kilometer dari Merapi.
”Kami baru bersedia mengungsi jika Pemerintah Kabupaten Magelang bisa memberikan alasan yang cukup masuk akal dan bisa membuktikan bahwa aktivitas Gunung Merapi betul-betul berbahaya bagi kami,” ujar Cokrodiharjo (60), sesepuh Desa Wonolelo, Selasa (9/11).
Di Boyolali, sampai Kamis (11/11), sekitar 100 warga di lima dusun di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, masih terisolasi. Sepuluh hari terakhir warga yang enggan mengungsi ini hanya mengonsumsi singkong dan air bercampur abu vulkanik.
Warga tersebut berada di Dusun Stabelan, Takeran, Belang, Karang, dan Gumuh yang hanya sekitar 2-3 kilometer dari Merapi. Akses jalan menuju Desa Tlogolele terputus karena tertutup pepohonan tumbang dan abu vulkanik
SUMBER
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g:
:h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Posting Komentar